Fisik Tangguh Kunci Kesuksesan di Era Modern
Fisik prima menjadi salahs atu kunci sukses di era sepak bola modern saat ini. Maka itu, dibutuhkan kedisiplinan menjaga kebugaran, termasuk di masa pandemi dan bulan puasa seperti saat ini.
Oleh ADRIAN FAJRIANSYAH
JAKARTA, KOMPAS – Di era sepak bola modern saat ini, salah satu kunci sukses pesepakbola adalah memiliki fisik yang prima. Untuk mewujudkan itu, pesepak bola harus disiplin membentuk dan menjaga kemampuan fisiknya sejak usia dini. Sekalipun di masa wabah Covid-19 dan puasa Ramadhan, seperti saat ini, para pesepak bola perlu tetap menjaga level kebugarannya.
”Pesepak bola Indonesia, terutama yang masih muda cobalah untuk meniru gaya hidup pesepak bola elit dunia, seperti Cristiano Ronaldo. Dia sangat disiplin menjaga kebugarannya mulai dari latihan, konsumsi makanan, dan istirahat,” ujar dokter Timnas U-19 Dicky Mohammad Shofwan ketika berbicara di acara Instagram Live Liga Kompas Kacang Garuda U-14, Selasa (19/5/2020) sore.
Dicky mengatakan, ada tiga elemen penting yang harus dijaga pesepak bola untuk mencapai level kebugaran atau fisik yang prima. Pertama, pesepak bola harus displin berlatih. Selain berlatih rutin bersama tim, mereka pun patut dengan kesadarannya melakukan latihan mandiri ataupun tambahan.
Itu tak terkecuali di masa pandemi Covid-19 dan puasa ini. Para pemain tetap wajib untuk bergerak agar ototnya tetap bekerja. Latihan yang dilakukan bisa dalam bentuk apapun, mulai dari latihan peregangan, otot inti, lari santai, hingga bersepeda. Sebab, kalau tidak berlatih, otot bisa kendor ataupun kaku dan tubuh cenderung lemas ketika akan latihan normal kembali.
Namun, sebagai catatan, para pemain tetap harus memperhatikan volume latihan. Secara teori, ada tiga klasifikasi volume latihan, yakni ringan, sedang, hingga berat. Di masa pandemi Covid-19 dan puasa ini, atlet dianjurkan melakukan latihan volume sedang. Dengan latihan seperti itu, energi atlet tidak terkuras sehingga imunitas tetap terjaga untuk menghalau infeksi virus korona baru.
Dengan latihan seperti itu pula, pesepak bola tidak mudah lemas ketika berlatih sambil berpuasa. Khususnya atlet yang berpuasa, mereka juga harus memperhatikan jadwal latihan. Waktu yang paling ideal untuk berlatih adalah sebelum atau sesudah buka. Khusus setelah buka puasa, sebaiknya 2 jam setelah berbuka atau setelah makanan sudah tercerna.
”Bisa juga berlatih setelah sahur, tetapi intensitasnya lebih baik ringan,” kata Dicky.
Atlet, khususnya di Indonesia, harus belajar menghindari makanan pedas dan gorengan. Makanan pedas adalah salah satu sumber masalah ketika akan berlatih maupun bertanding.
Asupan dan istirahat
Selain latihan fisik, hal yang tak kalah penting bagi pesepak bola adalah menjaga kualitas asupan makanan dan waktu istirahat. Atlet, khususnya di Indonesia, harus belajar menghindari makanan pedas dan gorengan. Makanan pedas adalah salah satu sumber masalah ketika akan berlatih maupun bertanding.
Makanan pedas memicu sistem pencernaan bekerja lebih keras dan tak menutup kemungkinan menyebabkan diare sehingga cairan tubuh akan terkuras habis. Pemain yang kehilangan banyak cairan tubuh akan lemas dan tak sanggup berkerja optimal. ”Apalagi makanan pedas di Indonesia, seperti sambal biasanya diproduksi kurang steril,” tuturnya.
Demikian pula dengan gorengan. Makanan ini pun bisa jadi sumber masalah ketika akan berlatih maupun bertanding. Gorengan memiliki kadar kalori yang berlebihan. Hal itu akan memicu penimbunan lemak pada tubuh. Selain itu, makanan gorengan bisa membuat atlet cepat kenyang, sehingga lupa mengkonsumsi asupan utamanya, yakni protein dan serat, yang masing-masing terkandung pada sayuran, buah, dan daging.
Di sisi lain, gorengan di Indonesia biasanya digoreng dengan minyak kelapa sawit yang memiliki kandungan lemak jenuh yang buruk untuk kesehatan. Lemak seperti itu bisa menyebabkan plak pada pembuluh darah. ”Apalagi, gorengan di Indonesia biasanya digoreng dengan minyak jelantah atau minyak yang dipakai berkali-kali hingga warnanya menghitam dan kental seperti oli,” ujar Dicky.
Shin Tae-yong
Khususnya untuk makanan pedas dan gorengan, lanjut Dicky, itu menjadi catatan dan perhatian khusus dari pelatih timnas Indonesia asal Korea Selatan, Shin Tae-yong. Dia berulang-ulang kali mengingatkan dan meminta para pemain timnas dari U-19 sampai senior tidak lagi mengkonsumsi makanan pedas dan gorengan.
Selebihnya, pesepak bola wajib menjaga kualitas istirahat. Idealnya, mereka harus tidur minimal 10 jam sehari. Jika pun tidak bisa tidur malam hingga 10 jam, mereka bisa mengganti waktu yang hilang dengan melakukan tidur siang. ”Tidur yang cukup salah satu penunjang untuk mengembalikan kebugaran pemain,” tutur Dicky.
Semua arahan itu harus dilakukan oleh atlet dengan kedisplinan tinggi. Sebab, itu menjadi salah satu dasar untuk membentuk tubuh yang tangguh di kemudian hari. ”Hal itu patut dibiasakan sedini mungkin dan akan benar-benar terlihat dampaknya 10 tahun ke depan atau saat pemain memasuki level senior atau elit,” ujar Dicky.
Pengalaman Egy Vikri
Pemain muda Indonesia yang saat ini berkiprah di klub Polandia, Lechia Gdansk Egy Maulana Vikri sadar betul dengan tuntutan itu. Ketika berbicara dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali di akun Instagram Kemenpora, Minggu (10/5/2020), pesepak bola kelahiran Medan, Sumatera Utara, 7 Juli 2000 itu mengisahkan, perbedaan utama pola latihan di Indonesia dan Eropa terletak pada fisik dan taktikal.
Porsi latihan di Eropa amat tinggi. Selain latihan rutin bersama tim pada pagi dan sore setiap hari, atlet pun dituntut melakukan latihan tambahan.
Khusus untuk fisik, porsi latihan di Eropa amat tinggi. Selain latihan rutin bersama tim pada pagi dan sore setiap hari, atlet pun dituntut melakukan latihan tambahan. Pola seperti itu sempat membuat Egy kaget dan kewalahan untuk menjalaninya.
”Latihannya sangat berat sekali. Sulit untuk dijelaskan. Intinya, harus kuat mental untuk menjalani semuanya,” kata alumni Liga Kompas Gramedia U-14 itu.
Tak heran, Egy mengungkapkan, setahun pertama di Polandia adalah masa-masa paling sulit yang harus dijalaninya. Selain harus menjalani latihan yang berintensitas lebih tinggi dibanding di Indonesia, dirinya pun harus adaptasi dengan lingkungan, cuaca, dan pola pikir yang ada di Polandia.
Statistik menunjukkan, Egy pun tampak masih kesulitan menembus tim utama klub peserta liga sepak bola strata tertinggi negara Eropa tengah tersebut. Sejak bergabung pada 2018, pemain bertinggi 168 sentimeter itu hanya tiga kali mendapatkan kesempatan bermain di tim utama dan 21 kali dengan 15 gol di tim kedua.
”Ini masa-masa awal saya. Memang semuanya sulit. Tapi, saya tidak mau menyerah. Saya bertekad untuk lebih baik di sisi kontrak saya yang tinggal setahun lagi (dikontrak tiga tahun sejak 2018). Saya juga punya ambisi bisa tetap berkompetisi di Eropa, lanjut main di Spanyol atau Portugal,” tutur penyerang yang identik dengan nomor punggung 10 itu.
Baca juga : “Si Kobra” yang Diusir Demi Menjaga Kebugaran/
Di era saat ini, sepak bola memang tidak hanya mengandalkan bakat alam melainkan pula fisik yang prima, apalagi untuk bisa bersaing di liga-liga Eropa. Gelandang timnas U-19 yang juga alumni Liga Kompas Gramedia U-14 Andre Oktaviansyah mengutarakan, dari kesempatan berlatih bersama Garuda Select II di Inggris, fisik yang kuat adalah modal utama untuk bersaing di Liga Inggris yang dikenal kental dengan kontak fisik dan permainan cepat.
Tak ayal, Andre pun belajar untuk displin menjaga fisik sepulangnya dari Inggris. ”Selain tetap displin berlatih walaupun mandiri di rumah, saya juga sebisa mungkin menghindari makanan pedas dan gorengan. Ini mungkin tantangan berat untuk orang Indonesia karena hampir selalu makan dengan sambal ataupun gorengan,” pungkasnya sambil tertawa ketika berbicara di IG Live Liga KG U-14, Minggu (17/5/2020).
Sumber: KOMPAS.ID