Kerja Bersama untuk Masa Depan Sepak Bola Indonesia
Saat ini pergelaran Piala Dunia U-17 di negara kita masih berlangsung. Sayangnya, tim U-17 Indonesia gagal lolos ke putaran kedua. Meski demikian, ada hal positif yang diraih para remaja ini, yaitu berhasil meraih dua poin dari dua kali hasil seri melawan Ekuador dan Panama.
Meskipun kalah dari Maroko, Indonesia secara konsisten mencetak gol pada tiga laga. Hal ini patut diapresiasi, mengingat tim terbentuk secara tidak ideal, dari segi waktu, sistem perekrutan, ataupun aneka proses lain untuk membangun tim yang mumpuni.
Jika dibandingkan dengan kontestan negara lainnya, mereka lebih dari satu tahun mempersiapkan tim untuk ajang ini. Peserta dari negara-negara dengan peringkat lebih baik dari Indonesia itu membangun sebuah tim sepak bola yang kuat, melalui kompetisi berkualitas di berbagai kelompok umur. Kondisi ini kurang mendapatkan perhatian serius dan konsisten di Indonesia.
Membina atlet usia dini
Keberhasilan proses pembinaan olahraga usia remaja sangat ditentukan banyak faktor. Paling pokok adalah faktor fisik, teknik, dan psikologis. Kepercayaan diri, motivasi, konsentrasi, dan kontrol emosi merupakan beberapa faktor psikologis yang menunjang keberhasilan atau prestasi dalam olahraga. Sayangnya, berbagai penelitian mengamati sebagian besar pelatih olahraga remaja tidak secara eksplisit mengajarkan atau menampilkan perilaku yang terkait dengan peningkatan aspek-aspek psikologis di atas.
Misalnya, McCallister dkk (2000) menemukan fakta pelatih sering mengajarkan kepada timnya tentang berbagai nilai positif keterampilan hidup yang didapat dari refleksi perjuangan dan pengalaman hidupnya, tetapi ironisnya perilaku mereka sering kali tidak konsisten dengan nilai-nilai dan filosofi itu. Penelitian lain yang dilakukan Gilbert dkk (2019) menunjukkan para pelatih remaja ini lebih sering berfokus pada tujuan meraih kemenangan daripada pengembangan kekuatan dan potensi pribadi pemain, seperti kepercayaan diri, membangun koneksi, dan karakter.
Pembinaan sepak bola remaja
Pada dasarnya terdapat tiga tujuan utama olahraga bagi remaja: (1) untuk meningkatkan kesehatan fisik, (2) untuk mempromosikan perkembangan psikososial yang positif (misalnya pengembangan pribadi), dan (3) untuk mengajar keterampilan motorik yang satu tujuannya adalah berkarier dan berprestasi di bidang olahraga. Tiga hal ini selanjutnya oleh penulis disebut sebagai 3 P. Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan seperti seberapa besar dampak pengalaman berolahraga bagi perkembangan ke tiga hal di atas? Bagaimana cara olahraga berkontribusi bagi remaja? Bagaimana menyusun program olahraga bagi remaja dan siapa yang perlu dilibatkan dalam mempromosikan tujuan 3 P?
Sepak bola bagi remaja memiliki potensi untuk mencapai 3 P ini. Yang pertama, program sepak bola memberikan kesempatan kepada remaja untuk aktif secara fisik, yang dapat mengarah pada peningkatan kesehatan fisik melalui partisipasi olahraga. Kedua, program sepak bola remaja telah lama dianggap penting untuk pengembangan pribadi remaja, menyediakan kesempatan untuk mempelajari keterampilan hidup, seperti kerja sama, disiplin, kepemimpinan, dan kontrol diri. Ketiga, program sepak bola remaja penting untuk pembelajaran dan kinerja keterampilan motorik sesuai tahapan perkembangannya.
Ini sesuai dengan konsep pembinaan atlet secara jangka panjang (LTAD–long term athletes development), yang dikembangkan Dr Istvan Balyi, tentang pentingnya periodisasi dan peningkatan prestasi melalui program latihan jangka pendek dan jangka panjang.
Kolaborasi pelatih-psikolog olahraga
Penelitian Turnnidge dkk (2014) menunjukkan, pelatih yang meningkatkan kompetensi, kepercayaan diri, koneksi, dan karakter biasanya melibatkan atlet mereka dalam pengambilan keputusan. Para pelatih juga mengevaluasi kinerja atlet berdasarkan upaya perbaikan diri, mengakui perasaan dan masukan atlet mereka, mempromosikan diskusi interaktif, dan berperilaku dengan cara konsisten.
Di kelompok umur remaja, pelatih memainkan peran penting dalam memungkinkan atlet muda menjadi anggota tim yang kompeten, yang dapat mengendalikan diri, memiliki karakter yang baik dan produktif bagi kehidupannya kelak. Pelatih olahraga remaja disarankan menghindari ”menggunakan bahasa atau teknik yang mungkin mendorong peserta untuk memisahkan pengalaman olahraga mereka dari ’kehidupan nyata’” (Bredemeier & Shield, 1996).
Olahraga remaja harus dilihat sebagai kegiatan yang tidak berbeda dengan situasi kehidupan lain di mana nilai-nilai pribadi dan sosial dihormati dan dipelajari. Di usia remaja ini, harus dihindari hal-hal yang tidak sportif yang jauh dari tujuan olahraga itu sendiri, mengingat para remaja ini akan belajar tentang kehidupan itu sendiri, menang dan kalah adalah bagian perjalanan hidup yang akan mendewasakan.
Hellison dkk (2008) mengusulkan kerangka kerja yang berisi program yang terintegrasi, pemberdayaan lewat hubungan pelatih-atlet yang positif, mengarahkan remaja memiliki rasa hormat, partisipasi sosial, dan kepedulian kepada lingkungan. Kerangka itu dilengkapi dengan waktu untuk konseling, penguatan kesadaran diri, dinamika dan pertemuan kelompok serta penyediaan waktu melakukan refleksi. Gould dan Carson (2008) menyarankan, pelatih dengan strategi pengajaran langsung atau tidak langsung, seperti yang diusulkan oleh Hellison, adalah penentu perkembangan psikososial atlet muda. Para peneliti itu pun menyepakati perlunya pelatih olahraga usia remaja melibatkan psikolog untuk bekerja sama dalam mengembangkan potensi yang dimiliki atlet usia remaja.
Di ajang Piala Dunia U-17, selain tim Indonesia, tim Maroko juga melibatkan psikolog olahraga di tim mereka. Mengutip Kompas, Pelatih Maroko Said Chiba memberikan sesi latihan ringan yang menyenangkan demi melepas tekanan pemain ”Singa Atlas”. Pemain Maroko menjalani sesi bersama psikolog tim agar berada dalam situasi mental terbaik sehingga bisa mengeluarkan kemampuan maksimal di fase gugur. Hasilnya Maroko lebih tenang saat adu penalti melawan Iran dan menang.
Psikolog olahraga dalam LKG 2023
Pencapaian 3 P merupakan landasan bagi bibit muda pemain sepak bola nasional suatu bangsa, salah satunya bisa diwujudkan melalui keikutsertaan dalam liga sepak bola usia remaja seperti kompetisi Liga Kompas Kacang Garuda (LKG). Apresiasi perlu disampaikan pada penyelenggaraan Liga Kompas Kacang Garuda U-14 2023, setelah terhenti selama tiga tahun akibat pandemi Covid-19. Pada edisi 2023, LKG bergulir kembali dengan melibatkan psikolog olahraga yang bekerja sama dengan Ikatan Psikologi Olahraga (IPO) untuk membantu pemain mengeluarkan potensi terbaiknya.
Tujuan kompetisi LKG melibatkan psikolog agar bisa membantu para remaja, pelatih, orangtua, dan semua yang terlibat. Penting untuk menyadari, program sepak bola remaja bersifat holistik dan tidak mengorbankan yang lain. Misalnya, program yang hanya berfokus pada pada prestasi akan mengorbankan kesehatan fisik dan perkembangan psikososial.
Demikian sebaliknya jika hanya berfokus pada pengembangan pribadi, maka pengembangan keterampilan sepak bola dasar dan fisiknya akan tidak optimal. Program sepak bola remaja diharapkan tetap berfokus bagaimana para atlet menikmati permainan secara utuh, tetapi tetap mendorong pengembangan keterampilan dan partisipasi sosial. Tujuannya menjadikan mereka tetap bisa aktif di dunia sepak bola di semua jenjang yang ditekuninya ataupun pilihan lain pada kehidupan selanjutnya.
LKG 2023 menyadari perlunya kerja bersama psikolog dengan pelatih serta semua sistem support yang diperlukan. Sebab, melalui kolaborasi itu, prestasi, partisipasi, dan perkembangan pribadi para pemain remaja akan terwujud. Pembangunan sepak bola bagi remaja harus berfokus pada ada kesamaan dalam sisi dan dimensi yang benar-benar dibutuhkan oleh semua para remaja. Semoga cara ini membantu mewujudkan anak muda yang berkarakter dan berjiwa sportivitas yang merupakan tujuan utama penyelenggaraan LKG.
(Penulis adalah Profesor Bidang Psikologi Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta dan Wakil Ketua Ikatan Psikologi Olahraga.)