Suara-suara Lirih yang Memimpikan Perubahan
Tahun 2015 pantas disebut tahun mengerikan atau annus horribilis dalam bahasa Latin. Ungkapan itu juga berlaku bagi sepak bola Indonesia. Liga sepak bola, baik profesional maupun amatir, terhenti. Padahal, liga yang berkualitas adalah kunci untuk membangun prestasi sepak bola.
Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan tahun depan. Selain membenahi kisruh sepak bola, pembinaan usia dini yang selama ini justru digarap serius oleh pihak di luar pemerintah dan PSSI harus lebih mendapat perhatian.
Suara-suara lirih dari para pemain dan pelatih kompetisi usia dini, seperti Liga Kompas Gramedia U-14 Panasonic, yang mengharapkan ada perubahan tahun depan seharusnya didengar oleh pembuat kebijakan.
”Semoga tahun depan pembinaan usia dini lebih bagus. Lebih jujur. Saya dengar dari orangtua, tahun lalu ada pemain yang bayar (supaya bisa bermain di liga usia dini). Semoga dalam kompetisi usia dini juga tidak ada yang curi umur,” kata kapten SSJ Kota Bogor, salah satu SSB peserta Liga Kompas Gramedia, M Sidiq.
Mengenai jumlah kompetisi sepak bola untuk usia dini,
Sidiq menilai sekarang sudah banyak. ”Jumlahnya sudah cukup. Ada Liga Top Skor, Liga Kompas Gramedia, Piala Suratin. Kalau kebanyakan, malah fisiknya enggak kuat,” ujar Sidiq sambil tertawa.
Wagianto, Pelatih SSJ Kota Bogor, mengharapkan tahun depan ada perubahan kondisi sepak bola Tanah Air yang sedang karut-marut. Kompetisi sepak bola usia dini, seperti Liga Kompas Gramedia, harus lebih ditingkatkan karena kompetisi usia dini adalah modal anak-anak ke depan.
”Seleksi umur dalam kompetisi usia dini harus diperketat supaya anak-anak ini bermain sesuai dengan tingkat umurnya,” ujar Wagianto yang merasa bangga karena berasal dari Pulau Madura seperti Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Asisten Pelatih SSB Villa 2000 Ilham juga berharap tahun depan situasi persepakbolaan Indonesia lebih baik daripada tahun 2015. ”Semoga tahun 2016 nanti pembinaan usia dini lebih dipentingkan dan menyelesaikan konflik sepak bola yang masih berlangsung. Turnamen ataupun kompetisi sepak bola usia dini tetap diadakan dan jumlahnya diperbanyak karena terkait dengan masa depan pemain,” ujarnya.
Pelatih SSB Remci Tangerang Aep Saifulah menuturkan, tahun 2015 memang tahun yang paling buruk bagi sepak bola Indonesia. Menurut Aep, kisruh antara pemerintah dan PSSI mendesak diselesaikan karena akibat konflik tersebut, kompetisi (liga) tidak bisa bergulir. Sementara pertandingan yang bisa bergulir sebenarnya hanya sebuah turnamen.
Aep mendambakan adanya kompetisi berkelanjutan untuk pemain usia dini. ”Setelah U-14, anak-anak U-16 dan U-18 harus bermain di mana? Jenjang kompetisi jangan sampai terputus. Setelah menjadi pemain bagus di U-14, tak ada kompetisi untuk ke jenjang usia lebih tinggi atau ke tingkat senior. Semoga Menpora mau terbuka karena pada masa mendatang, anak-anak inilah yang akan mewakili Indonesia di tingkat dunia,” katanya.
Harapan yang disampaikan para pemain dan pelatih yang tampil di Liga Kompas Gramedia U-14 tidak berlebihan. Konflik sepak bola telah mengakibatkan jatuhnya sanksi skors dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Dampaknya nyata, kesebelasan ”Merah Putih” dilarang tampil dalam ajang sepak bola internasional.
Akibat selanjutnya, peringkat sepak bola Indonesia berdasarkan ranking FIFA adalah ke-179 per 3 Desember 2015. Peringkat Timor Leste justru lebih baik, yaitu di posisi 170. Apabila pembinaan usia dini masih tidak dianggap dan konflik sepak bola terus berlarut-larut, jangan berharap prestasi sepak bola Indonesia bangkit.
Semoga harapan pemain muda dan pelatih Liga Kompas Gramedia tak lenyap bersama menghilangnya suara terompet Tahun Baru. (WAD)