Liga KG
Beranda / Berita / Berita Detail

Pemburu Gol Jadi Pemburu Pemain

Pada tahun 1980-an, ia merupakan seorang predator di kotak penalti. Andalan tim nasional Indonesia pada  1975-1985 dan pencetak gol terbanyak Liga Sepak Bola Utama atau Galatama 1983 dengan 17 gol sebagai buktinya. Selepas pensiun pada 1985, ia tak benar-benar meninggalkan si kulit bundar di lapangan hijau. Jika dahulu jadi pemburu gol, kini ia menjadi pemburu pemain sepak bola potensial alias pencari bakat.

Ia adalah Dede Sulaeman (61). Pria yang lahir di Jakarta, 8 Mei 1956, itu dahulu adalah striker andalan timnas Indonesia selama satu dekade, yakni dari 1975 hingga 1985. Kariernya di timnas tak sekadar numpanglewat.

Bersama timnas, pria dengan tinggi 170 sentimeter ini pernah mengikuti sejumlah kejuaraan internasional bergengsi, mulai turnamen di sejumlah negara, ajang multicabang seperti SEA Games, hingga kualifikasi Piala Dunia.

Puncak kariernya ketika meraih perak di SEA Games 1979 Jakarta. Ketika itu, Indonesia kalah 0-1 dari Malaysia di partai pamungkas. Dalam cabang sepak bola di pesta olahraga negara Asia Tenggara ke-10 itu, Dede mencetak 1 gol dari 5 laga.

Piala Dunia

Paling prestisius ketika timnas hampir lolos Piala Dunia 1986 di Meksiko. Pada kualifikasi yang dilaksanakan sepanjang 1985, timnas sukses juara Grup 3B AFC Zona B. Di kualifikasi putaran pertama itu, timnas berhasil menyingkirkan India, Thailand, dan Bangladesh.

Dede mencetak 3 gol dari 6 laga selama fase tersebut atau terbanyak kedua di timnas setelah yuniornya, Bambang Nurdiansyah, yang mencetak 4 gol dari 6 laga. Bahkan, sejumlah golnya menjadi penentu langkah timnas waktu itu. Salah satunya gol di kandang India yang membuat timnas menahan imbang India 1-1 sehingga menjadi juara grup.

Pada putaran kedua, Indonesia bertemu dengan Korea Selatan. Dede dan kawan-kawan mati-matian agar minimal bisa menahan imbang tuan rumah di laga pertama. Akan tetapi, hasilnya meleset, Indonesia kalah 0-2 dari Korsel.

Di laga kedua yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, timnas yang diasuh pelatih legendaris Sinyo Aliandoe berupaya main menyerang. Sayangnya, strategi itu membuka celah di lini belakang sehingga Indonesia kalah 1-4 dari Korsel.

Gol tunggal Indonesia dilesatkan Dede di menit ke-87. ”Andai waktu itu kuota Asia sudah empat (lolos langsung ke Piala Dunia), kami pasti sudah lolos ke Meksiko, 1986,” ujar suami Tati Herawati (59) itu ketika ditemui di Jakarta, Minggu (7/1).

Selain jadi langganan timnas, Dede juga sukses di klub. Ia pernah menjadi ujung tombak andalan Persija Jakarta di era perserikatan, 1974-1979. Kemudian, ia menjadi andalan klub Indonesia Muda di kompetisi cikal bakal Liga Indonesia, Galatama, 1979-1985.

Puncak kariernya di klub ketika membawa klub asal Jakarta, Indonesia Muda, berada di peringkat ketiga Galatama, 1980-1982, atau musim kedua Galatama. Lalu, ayah tiga anak dan kakek enam cucu itu menyabet gelar pencetak gol terbanyak Galatama 1983 atau musim ketiga Galatama dengan 17 gol.

Pada 1985, Dede pensiun. Padahal, waktu itu usianya masih 29 tahun. Langkah berani tersebut diambil karena ia mendapat tawaran kerja di PT Pertamina. ”Waktu itu, jadi pesepak bola belum ada masa depannya. Jadi, saya memilih pensiun dini dan masuk Pertamina,” ucapnya.

Menjadi pencari bakat

Selepas pensiun, Dede tidak benarbenar meninggalkan dunia sepak bola. Sembari kerja kantoran, ia tetap ikut memperhatikan perkembangan sepak bola Tanah Air. Setidaknya ia aktif berkomunikasi dan memberikan masukan kepada rekan-rekannya, baik ketika masih aktif sebagai pemain maupun saat jadi pelatih, seperti Rully Nere, Harry Kiswanto, dan Bambang Nurdiansyah.

”Saya tidak terjun ke dunia kepelatihan karena terikat kerja di kantor. Namun, saya tetap berkomunikasi dengan rekan-rekan saya yang aktif jadi pelatih. Saya turut memberikan masukan ketika mereka minta,” katanya.

Pada 2012, Dede pensiun sebagai pegawai Pertamina. Pensiun dari dunia kantoran membuat dirinya bisa kembali terjun ke dunia sepak bola. Namun, ia tak menjadi pelatih ataupun pengurus organisasi, tetapi menjadi pencari bakat. Ia menjadi salah satu dari tujuh pencari bakat di Liga Kompas Gramedia Panasonic U-14 sejak 2012 atau sejak awal liga itu bergulir.

Bagi Dede, menjadi pencari bakat lebih membanggakan ketimbang menjadi pelatih ataupun pengurus organisasi. Sebab, pencari bakat bisa berandil besar memperbaiki fondasi sepak bola nasional dari bibit-bibit baru yang diorbitkan.

”Jalan utama memperbaiki prestasi sepak bola nasional adalah memperbaiki pembinaan sepak bola usia muda. Sebab, dari para pemain muda tersebut fondasi sepak bola nasional berasal. Jika fondasinya tidak kuat, ke depan, tim nasional yang dihasilkan pun tidak akan solid,” ujar Dede.

Turut menemukan Egy

Sebagai pencari bakat, Dede turut berkontribusi memilih pesepak bola muda yang kini mengorbit ke pentas nasional bahkan internasional. Paling tidak, dua tahun terakhir, ia turut memilih sembilan pemain terbaik LKG Panasonic U-14 yang kini bermain di timnas U-16 dan empat pemain di timnas U-19.

Dari sekian banyak pemain dipilih, salah satu yang paling menonjol adalah Egy Maulana Vikri, anggota timnas U-19. Ketika itu, Egy merupakan salah satu siswa di Sekolah Olahraga Ragunan, Jakarta. Guna mendapatkan jam kompetisi yang cukup, pemuda kelahiran Medan, 7 Juli 2000 itu dititipkan ke Sekolah Sepak Bola Anisa Pratama.

Kala itu Egy tampil menonjol, baik secara individu maupun tim. Ia mampu mencetak 28 gol di LKG Panasonic U-14 musim 2014 atau terpaut 5 gol dari peraih top skor. Ia pun berhasil membawa SSB Anisa Pratama yang tak diperhitungkan duduk di peringkat ke-5.

Dengan pencapaian itu, Dede dan rekannya tak goyah memilih Egy sebagai anggota skuad terbaik LKG Panasonic U-14 dan berhak ikut ke Gothia Cup, salah satu turnamen sepak bola usia muda terbesar di dunia. Kini, Egy menjadi langganan timnas dari yunior hingga senior. Ia pun banyak diminati klub-klub Eropa.

Menurut Dede, Egy tak hanya memiliki kemampuan individu yang baik, tetapi juga memiliki sikap yang baik. Apalagi, ia menjelaskan, ada empat aspek utama dalam menilai pemain muda, yakni bakat, sikap yang baik, kontribusi terhadap tim, dan konsisten penampilan. ”Namun, untuk saya, dua yang pertama, yakni bakat dan sikap merupakan komponen terpenting,” ujarnya.

Berkat kontribusinya ketika aktif sebagai pemain dan pencari bakat, Dede pun mendapatkan penghargaan sebagai salah satu legenda olahraga nasional yang turut membangun kebanggaan prestasi olahraga Indonesia dari Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pada Desember 2017. Ia menjadi salah satu dari 200 legenda olahraga nasional yang mendapat penghargaan itu.

”Dede merupakan salah satu pencari bakat yang tegas menolak pesanan khusus dalam meloloskan pemain-pemain tertentu ketika seleksi pemain terbaik di LKG Panasonic U-14,” ucap Direktur LKG Panasonic U-14 Adi Prinantyo.

Wartwan: ADRIAN FAJRIANSYAH

Sumber: Kompas.id

BERITA TERKAIT
Komentar
Berita Populer