Liga KG
Beranda / Berita / Berita Detail

Kepada Sepak Bola Mereka Percaya

KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA

Pemain Ragunan Soccer School Dicky Daniel (13) bersama sang ayah seusai pertandingan pekan kelima Liga Kompas Kacang Garuda U-14, Minggu (30/9/2018). Meski kompetisi sepak bola di Indonesia dinilai sebagian kalangan belum mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi pemain, Dicky tetap percaya akan hidup dari sepak bola

Prestasi sepak bola Indonesia memang belum begitu mengilap dibandingkan olahraga lain seperti bulu tangkis. Kering prestasi, korupsi, tawuran antarsuporter, dan tunggakan gaji pemain menjadi sisi kelam persepakbolaan Indonesia. Meski demikian, sejumlah bibit-bibit muda berniat menggantungkan hidupnya dari olahraga ini.

Pertengahan Januari 2018, Pesepak bola asal negeri Belanda, Kristian Adelmund, menghebohkan jagat sepak bola Indonesia. Mantan punggawa PSIM Mataram, Persepam Madura United, PSS Sleman, dan Persela Lamongan itu terang-terangan bercerita soal bobroknya pengelolaan sepak bola di Indonesia.

Adelmund telah mencicipi atmosfer sepak bola di Indonesia selama kurang lebih lima tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Adelmund merasakan banyak pengalaman berkesan.

Berdasarkan penuturannya kepada beberapa media, Adelmund bercerita, korupsi dan netralitas wasit jadi hal yang pernah ia saksikan. Berdasarkan pengalamannya, ia pernah menyaksikan bagaimana wasit ditodong senjata api oleh salah satu petinggi klub untuk memengaruhi hasil akhir pertandingan.

Di samping korupsi dan netralitas wasit, masalah infrastruktur lapangan dan tunggakan gaji pemain tidak bisa dilupakannya. Kenyataan itu dirasakannya pada 2012, ketika gajinya selama berbulan-bulan ditunggak oleh PSIM Mataram. Kondisi itu pula yang membuatnya hengkang ke Persepam Madura United.

Catatan kelam sepak bola Indonesia sebagaimana dikisahkan Adelmund masih dapat ditemui hingga sekarang. Tawuran antarsuporter jadi contoh terbaru. Suporter Persija Jakarta, Haringga Sirla, tewas setelah dibantai oknum suporter Persib Bandung ketika hendak menyaksikan pertandingan. Peristiwa itu sempat membuat Liga Indonesia terhenti sejenak.

KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi di Kantor Kemenpora memberikan keterangan kepada wartawan terkait insiden kematian suporter Persija Jakarta Haringga Sirla

Bukan sekali saja Liga Indonesia harus jeda sebelum berakhir. Pada 2015, pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dianggap FIFA sebagai intervensi pemerintah.

Kemenpora membekukan PSSI karena menilai, induk cabang sepak bola tertinggi di Indonesia itu telah mengabaikan surat teguran tertulis yang dikeluarkan pemerintah. Salah satu isi surat itu adalah memerintahkan Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya untuk memenuhi permintaan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).

Arema dan Persebaya dinilai bermasalah sehingga tidak mendapatkan rekomendasi untuk ikut serta dalam Indonesia Super League (ISL) 2015. Namun, kedua klub tersebut tetap bermain dalam pembukaan ISL.

Akibat pembekuan itu, Liga Indonesia terhenti cukup lama. Nasib pemain terkatung-katung, gaji mereka ditunggak, sponsor dirugikan, dan tim nasional sepak bola kehilangan kesempatan bertanding di laga internasional.

Secercah harapan

Meski diwarnai karut marut, menurut Adelmund, ada pengalaman manis yang dirasakannya selama menjalani karier di Indonesia. Atmosfer kompetisi sepak bola di Indonesia, kata dia, sangat semarak, khususnya dari sisi fanatisme suporter. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menggemari sepak bola.

Hal serupa diutarakan mantan bek sayap kiri Persib Bandung di era 2000-an, Abdush Sobur, Minggu (30/9/2018). Menurut dia, ada secercah harapan dari sepak bola Indonesia kini.

Pria yang kini menangani sekolah sepak bola Siaga Pratama di Liga Kompas Kacang Garuda U-14 itu menyampaikan, sepak bola Indonesia sudah mulai mengarah menjadi industri. Dengan kegilaan masyarakat Indonesia akan sepak bola, menurut Abdush hal itu bisa membuat sponsor dan investor berdatangan.

Dampaknya, penghasilan pesepak bola saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dua dasawarsa lalu. Pesepak bola kini juga telah berada di tingkat yang setara dengan selebriti. Mereka kerap diundang sebagai bintang tamu acara televisi dan didapuk mempromosikan produk melalui iklan.

“Penghasilan pesepak bola sekarang sudah sangat jauh kalau dibandingkan dengan di era saya masih aktif bermain,” kata Abdush.

Pelatih Siaga Pratama, Abdush Sobur

Hal itulah yang menurut Abdsuh mendorong sejumlah orang  tua kini serius menjadikan anak mereka sebagai pesepak bola.

Di Liga Kompas, contoh itu ada pada diri Dicky Daniel (13). Meski merupakan anak dari kalangan berada, Daniel jatuh hati pada sepak bola sejak usia 6 tahun. Perkenalannya dengan si kulit bundar dimulai dari menonton pertandingan di layar kaca.

Siswa kelas 8 SMP N 68 Jakarta itu lalu dibimbing oleh ayahnya untuk menekuni sepak bola di SSB Ragunan. Pada usia 8 tahun, ia mengikuti turnamen pertamanya. Hingga kini, Daniel tercatat memperkuat Ragunan Soccer School di Liga Kompas.

“Dia suka bola dan saya lihat ada potensi (menjadi pesepak bola). Lagi pula sepak bola Indonesia menurut saya sudah jauh lumayan,” kata Daniel Peitty, ayah Dicky.

Meski terbilang pengusaha sukses, Daniel tak ingin memaksakan kehendak kepada Dicky untuk mengikuti jejaknya. Ia memberikan keleluasaan kepada Dicky untuk berkembang sesuai kata hatinya. Melalui Liga Kompas, Dicky pun memendam hasrat untuk bisa memperkuat tim nasional Indonesia dan mengembangkan kariernya.

“Di Indonesia saya tidak melihat kompetisinya karut marut atau apa, saya hanya ingin mendukung anak saya meraih cita-citanya,” ujarnya.

Selain Dicky, Aditya Raffi (14) juga berharap bisa mengembangkan karier sepak bola melalui Liga Kompas. Penjaga gawang Siaga Pratama tersebut bermain bola sejak usia 10 tahun. Sejumlah turnamen pernah ia ikuti, termasuk kala merebut posisi ketiga Danone Nations Cup di Bandung mewakili tim sepak bola Kabupaten Bogor.

Menurut sang ayah, Yulianto (42), ia menginginkan Aditya untuk serius menekuni sepak bola. Yulianto mengatakan, kompetisi sepak bola di Indonesia sudah banyak dan rutin diadakan, sehingga bisa menjadi jaminan untuk pegangan hidup.

Selain itu, dengan aktif bermain sepak bola, Yulianto berharap Aditya akan terhindar dari pengaruh pergaulan bebas. Yulianto khawatir jika tak sibuk berlatih sepak bola, Aditya akan terjerumus pergaulan yang bisa menjerumuskan masa depannya.

“Kalau jalannya memang menjadi pesepak bola, saya akan dukung penuh karena sepak bola sudah menjanjikan,” ujarnya.

Begitulah Aditya dan Dicky mencoba mengawali karier mereka di persepakbolaan Indonesia. Meski berkali-kali dikecewakan akibat pengelolaan kompetisi yang karut marut, perkelahian suporter, dan bayang-bayang ketidakprofesionalan pengurus sepak bola di negeri ini, mereka tetap percaya sepak bola akan menjadi tumpuan hidup mereka di masa mendatang.

Elite-elite yang mengurus sepak bola Indonesia mesti memanfaatkan momentum ini membenahi pengelolaan kompetisi. Hal itu semata-mata demi menjaga bibit-bibit muda seperti Aditya dan Dicky berpaling dari sepak bola.

BERITA TERKAIT
Komentar
Berita Populer