Suara Sumbang dari Tepi Lapangan
Tribune Stadion GOR Ciracas tidak pernah sepi dari penonton setiap Minggu. Mayoritas dari pengunjung merupakan orang tua pemain yang berlaga di Liga Kompas Kacang Garuda U-14. Kehadiran dan dukungan mereka dibutuhkan para pemain agar mampu tampil baik sepanjang pertandingan. Namun, tak jarang sebagian dari mereka justru mengeluarkan suara-suara sumbang dari tepi lapangan.
Suara-suara sumbang itu memekakkan telinga. Mengusik kekhidmatan para pemain yang tengah beradu keterampilan olah bola di lapangan. Tidak jarang suara sumbang itu juga keluar dari mulut pelatih. Orang yang kata-katanya harus didengarkan pemain saat berlaga.
“Ayo, hajar! Jangan kasih ampun!” teriak salah seorang pendukung dari satu kesebelasan Liga Kompas. Ia mencoba meneror pemain lawan dengan teriakannya itu.
“Wasit, itu offside. Ah payah!” sahut sebagian pendukung lainnya.
Pada mulanya dukungan dan yel-yel dari orang tua itu bisa membakar semangat pemain. Akibatnya, laga menjadi lebih atraktif. Namun, ketika kekecewaan terhadap jalannya laga merebak di benak para orang tua, dukungan tersebut berubah menjadi pisau makian.
Pisau kata-kata itu melesat, menusuk dada para pemain. Mental mereka terbebani ekspektasi tidak sehat itu. Kemampuan terbaik pemain menjadi tidak keluar. Salah umpan dan operan makin sering terjadi. Sementara dari tepi lapangan suara-suara sumbang makin tak bisa dibendung.
Tiga klub di Stockholm, Swedia, pernah melakukan survei terkait pengaruh perilaku buruk orang tua terhadap pembinaan pemain (Kompas, 11 Juli 2017). Ketiga klub itu adalah Djurgarden, AIK, dan Hammarby. Klub-klub tersebut ingin mencari tahu seberapa besar pengaruh perilaku negatif orang tua terhadap perkembangan pemain sepak bola usia muda.
Hasilnya ternyata mengejutkan. Satu dari tiga anak tak melanjutkan bermain sepak bola karena “keterlibatan berlebihan orang tua”. Dari 1.016 orang dewasa yang disurvei, 83 persen menyatakan, mereka menyaksikan para orang tua memberikan sokongan berlebihan atau mengecam wasit dengan perkataan keras dan kasar.
Atas hasil sirvei tersebut, harian The Guardian melansir, wakil kapten AIK Stefan Ishiki mengatakan, masa anak-anak lingkungan yang gembira adalah yang terpenting karena akan membekas sepanjang hidupnya. Menurutnya, sepak bola adalah kegembiraan. Maka semua pihak harus bersama-sama menjamin anak-anak mendapat pengalaman gembira.
Teladan buruk
Sejumlah pelatih tim-tim di Liga Kompas menyoroti fenomena tak elok tersebut. Pelatih sekolah sepak bola Astam Dzulfikri Bashari El Hassan mengatakan, perilaku itu merupakan teladan buruk. Memberikan dukungan tapi berupa makian dan kata-kata kasar ke pemain lawan berdampak tidak baik bagi pembinaan pemain usia muda.
Bagi Dzulfikri, kata-kata makian itu akan terbawa ke pemain muda. Permainan mereka menjadi tidak terkontrol dan akhirnya cenderung bermain kasar serta tidak menghargai pemain lawan.
“Orang tua juga harus bisa menempatkan diri. Karena tujuan utama kompetisi ini adalah pembinaan dan bukan mencari menang atau kalah,” katanya, Selasa (30/10/2018).
Untuk itu pihak Astam menekankan kepada orang tua pemain untuk senantiasa mendukung putra mereka dengan menjunjung sportivitas. Orang tua mesti menaruh rasa hormat kepada pemain lawan dan juga perangkat pertandingan.
Di sisi lain, pelatih Matador Mekarsari Meika Suwasdika berpendapat, dukungan dari orang tua akan memberikan efek bagus kepada para pemain yang bertanding. Namun, hendaknya mereka mendukung dengan bahasa yang santun dan menghargai lawan. Menurut Meika, di usia muda, apalagi di bawah 14 tahun, teriakan dan umpatan akan membuat mental pemain terganggu.
Selain dari orang tua atau suporter, pelatih juga terkadang bereaksi berlebihan melihat pemainnya tidak bermain bagus. Meika mengatakan, para pelatih juga sebaiknya tidak terlalu menekan pemain saat mereka bermain di bawah performa. Pelatih, katanya, harus memberikan instruksi sewajarnya dan tidak menyudutkan pemain.
“Kalau pelatih marah saat memberikan insturuksi dari tepi lapangan itu sebenarnya tidak bagus. Mereka belum berada di level pemain profesional. Pendekatan yang diberikan mestinya berbeda. Kalau disudutkan, itu justru berdampak buruk bagi pemain,” tuturnya.
Meika meminta kepada orang tua pemain agar memberikan dukungan dalam bentuk yang positif. Orang tua diimbau mendukung dengan bahasa-bahasa yang bisa diterima pemain. Sebaiknya mereka tidak saling mencela dan bersama-sama menikmati suguhan pertandingan.
Direktur Liga Kompas Kacang Garuda U-14 Adi Prinantyo menjelaskan, pihaknya selalu berharap orang tua pemain dan pelatih dapat memberi teladan yang baik. Kedua pihak itu berpengaruh besar terhadap sikap pemain.
Adapun saat ini operator kompetisi belum memiliki sanksi terhadap orang tua yang berkata kasar saat memberikan dukungan. Hal itu karena manajemen liga tidak punya hubungan langsung dengan orang tua pemain. Sanksi yang ada saat ini hanya terhadap pelatih, SSB, dan pemain.
“Harapannya sosialisasi tentang sikap-sikap sportivitas di kalangan orang tua dilakukan oleh manajemen SSB. Tapi sepertinya itu juga kurang maksimal,” katanya.
Pertandingan sepak bola memang tidak hanya berbicara tentang yang terjadi di atas lapangan. Hal-hal yang tak tampak bukan berarti tak memberi dampak. Suara-suara sumbang sudah semestinya diselaraskan agar menjadi irama penyemangat positif yang mengiringi setiap langkah kecil pemain.