Bertarung Melawan Diri Sendiri
JAKARTA, KOMPAS – Kiprah Ragunan Soccer School di Liga Kompas Kacang Garuda U-14 belum terbendung. Memasuki pekan kesepuluh, mereka tidak tersentuh kekalahan. Namun, jajaran pelatih Ragunan mulai menyadari ada hal berbahaya yang bisa merusak capaian mereka itu: diri mereka sendiri.
Sepuluh laga dilalui Ragunan tanpa menelan hasil minor. Mereka menuai 7 kemenangan dan 3 kali hasil imbang. Gelontoran gol yang mereka lesakkan merupakan yang terbanyak di Liga Kompas. Pasukan Rasyito Amsya total melesakkan 25 gol. Lebih banyak daripada Bina Taruna dan Salfas Soccer yang masing-masing baru mencetak 13 gol. Ragunan kini memuncaki klasemen sementara Liga Kompas.
Ujian serius sempat datang dari Bina Taruna pada pekan kesembilan. Saat itu, skuad arahan Saut LB Tobing itu merebut puncak klasemen dari tangan Ragunan. Namun, tak butuh waktu lama bagi Ragunan, dalam waktu sepekan puncak klasemen kembali menjadi milik mereka.
Atas semua capaian itu, Ragunan melesat meninggalkan pesaing terdekatnya. Akan tetapi, ada kecemasan yang dipendam Rasyito Amsya. Bukan Bina Taruna atau Salfas Soccer yang ia takutkan. Tantangan terbesar bagi Ragunan justru datang dari diri mereka sendiri.
Rasyito kini dihadapkan pada situasi harus meredam ego para pemain. Kegemilangan mereka hingga pekan kesepuluh nyaris membuat pemain tak menjejak bumi. Individualitas mulai terasa. Pemain Ragunan menembakkan sendiri-sendiri bola ke gawang lawan tanpa berpikir, rekannya mungkin lebih berpeluang untuk mencetak gol.
Bagaimanapun, sepak bola adalah permainan tim. Rasyito mengatakan, pemainnya mulai bernafsu mencetak gol untuk diri mereka sendiri. Hal itu tidak terlepas dari keberhasilan Ragunan memuncaki klasemen sementara.
“Semua pemain mulai merasa bisa mencetak gol. Saya mesti meredam ego para pemain,” ujar Rasyito, Selasa (6/11/2018), di Jakarta.
Ego pemain berpotensi merusak irama permainan tim. Keseimbangan tim akan terganggu jika pemain lebih mengedepankan keakuannya dibandingkan tim. Pemain berjalan sendiri-sendiri. Kolektivitas tim tidak akan terbangun.
Aspek ego pemain ini pernah diulas esais sepak bola Sindhunata di Harian Kompas pada pertengahan 2012. Menurut dia, kolektivitas tim tidak mengekang kebebasan seorang pemain. Kolektivitas tim justru menciptakan sebuah ruang untuk pemain tersebut dalam mengeluarkan segala kemampuannya. Namun tetap saja pemain memiliki batasan dalam mengekspresikan kemampuannya untuk menyeimbangkan dengan ruang pemain lain.
Menyederhanakan latihan
Rasyito memiliki cara sendiri untuk mulai menurunkan kadar ego pemain. Dalam setiap latihan, ia membatasi gerakan pemain dan lebih banyak melatih feeling ball. Mengasah feeling ball, kata Rasyito, berguna untuk melatih kesabaran dan reaksi pemain.
“Latihan dibuat sesederhana mungkin. Pemain tidak boleh berlama-lama menguasai bola,” katanya.
Selain itu, seusai latihan maupun pertandingan, Rasyito beserta jajaran manajemen tim mendekati pemain. Mereka mengajak para pemain bicara sekaligus memberikan pemahaman akan arti penting kerja sama tim.
Hingga kini Ragunan Soccer School masih berupaya menunjukkan konsistensi. Ego pemain berpeluang menggerus permainan kolektif yang mereka peragakan sejak awal musim. Beruntung jajaran pelatih bertindak cepat. Mereka menyadari musuh yang paling sulit untuk dikalahkan justru adalah diri sendiri.