”Si Kobra” yang Diusir demi Menjaga Kebugaran
Motivasi untuk menjadi pesepak bola profesional menjadi pendorong bagi atlet muda untuk tetap berlatih dan menjaga kebugaran pada masa andemi Covid-19 dan bulan puasa.
Oleh ADRIAN FAJRIANSYAH
JAKARTA, KOMPAS — Bulan Ramadhan di tengah wabah Covid-19 bukan menjadi penghalang untuk terus menjaga kebugaran. Hal itu dilakukan pemain tengah Tim Nasional U-19 yang juga alumnus Liga Kompas Gramedia U-14 Andre Oktaviansyah. Bahkan, pemain berjuluk ”Si Kobra” itu pernah dikejar dan diusir penjaga lapangan sepak bola saat berusaha menjaga kebugarannya.
”Saya kan dapat program dari pelatih untuk latihan individu di rumah. Tetapi, saya tetap latihan tambahan juga di lapangan sepak bola yang enggak jauh dari rumah di Depok. Nah, waktu mau jogging untuk menjaga stamina, saya didatangi penjaga lapangan. Waktu itu, saya dimarahi dan diusir dari lapangan karena lapangan ditutup karena Covid-19,” ujar Andre pada fasilitas siaran langsung akun Liga Kompas Kacang Garuda U-14, Minggu (17/5/2020).
Andre mengatakan, jika ingin menjadi pemain sepak bola profesional, setiap atlet harus disiplin berlatih, tak terkecuali saat puasa ataupun masa Pembatasan Sosial Berskala Besar seperti saat ini. Jika sekali saja berhenti latihan akan berdampak negatif terhadap kondisi kebugaran maupun skill pemain.
Kebugaran akan turun drastis dan tubuh menjadi kaku sehingga tidak bisa bermain seperti sedia kala. ”Untuk kembali ke kondisi seperti biasa, bisa lebih berat dan butuh waktu lama,” kata pemain SSB Pelita Jaya pada LKG U-14 musim 2016/2017.
Untuk itu, selama masa puasa dan wabah Covid-19 ini, pemain berusia 18 tahun itu berusaha tetap berlatih rutin setiap hari, dengan modal program latihan individu yang didapat dari pelatihnya. Materi latihan terdiri atas latihan kebugaran berupa latihan sit up, push up, dan plank atau latihan core tubuh.
Ada pula latihan skill berupa mengoper dan mengontrol bola. Semua latihan itu biasanya dilakukan di rumah bersama saudaranya yang juga pesepak bola. Andre juga menambah porsi latihan berupa jogging dan bersepeda di fasilitas olahraga sekitar rumahnya. ”Tetapi, durasi latihannya yang dikurangi separuh selama bulan puasa, dari 2-3 jam sehari menjadi 1-1,5 jam sehari,” tuturnya.
Di luar itu, anggota tim Garuda Select II itu menuturkan, dirinya berusaha untuk menjaga asupan makanan. Dari hasil konsultasi dokter timnas, dirinya berusaha untuk menghindari makanan pedas, gorengan, dan karbohidat berlebih. Dia lebih banyak mengonsumsi makanan berprotein dan berserat tinggi, antara lain sayur-sayuran.
”Paling berat itu menjaga asupan makanan. Orang Indonesia ini susah untuk meninggalkan gorengan. Tetapi, karena memang sudah niat untuk jadi pesepak bola, saya berusaha untuk tidak mengonsumsi gorengan demi menjaga fisik saya,” ujar pemain kelahiran Depok, 23 Oktober 2002 tersebut.
Displin jadi kunci
Menurut Andre, kunci untuk menjadi pemain timnas terletak pada kedisplinan. Kalau tidak bisa displin dalam berlatih dan menjaga asupan makanan, sulit bagi pesepak bola mencapai level permainan yang lebih tinggi. ”Untuk kompetisi, saya rasa sekarang sudah banyak kompetisi berkualitas yang bisa dimanfaatkan untuk menimbah pengalaman dan menjadi batu loncatan menuju timnas, seperti LKG U-14,” katanya.
Pelatih SSB Buperta Cibubur yang merupakan pemenang pertama LKG U-14 2019/2020 Jumhari Saleh menyampaikan, dirinya sadar betul bahwa-masa puasa dan wabah Covid-19 ini bisa menjadi boomerang bagi pesepak bola, terutama usia dini kalau tidak displin untuk tetap berlatih. Atas dasar itu, walaupun sudah tidak bisa berlatih normal di luar ruangan, dirinya tetap memberikan program latihan kepada semua anak asuhnya.
Program dan waktu latihan yang diberikan sama sepeti saat pelatihan normal di lapangan. Latihan berupa latihan kebugaran dan skill. Namun, durasi latihannya dikurangi. Saat normal, latihan berlangsung dari pukul 15.00-17.30. Dalam masa puasa dan wabah Covid-19 ini, anak-anak hanya diminta latihan minimal lima menit setiap sesi latihan, dari latihan strength, core, hingga skill.
”Selama ini, saya hanya beri program dan berusaha memantau perkembangan anak-anak dari media sosial, seperti Whatsapp. Selebihnya, kedisplinan mereka yang menentukan. Kalau tidak menjalani latihan itu, yang rugi atlet itu sendiri. Sebab, kalau lama tidak latihan, mereka butuh waktu dua kali lipat dari hari yang hilang itu untuk kembali ke puncak performanya. Misalnya satu bulan tidak latihan, mereka butuh dua bulan untuk kembali normal,” tuturnya.
Penyerang timnas Indonesia 1975-1985, Dede Sulaeman, menyampaikan, salah satu kunci kesuksesan timnas era 1980-an adalah tingkat kedisplinan pemain yang tinggi. Itu dibuktikan dengan semangat pemain untuk terus berlatih walaupun dalam kondisi puasa Ramadhan. Misalnya saat mengikuti pelatnas untuk kualifikasi Piala Dunia 1986 Meksiko, para pemain terus berlatih dalam masa puasa.
”Latihan yang kami lakukan sama dengan latihan hari-hari normal. Tapi, memang, durasinya berkurang 50 persen. Dari biasanya latihan pagi dan sore per hari, memasuki puasa menjadi sore saja. Sebagai atlet ataupun pesepak bola, hakikat mereka adalah berlatih. Jadi, kalau sekali saja berhenti berlatih, semua yang sudah dicapai sebelumnya bisa hilang dan susah untuk mengejar lagi,” pungkasnya.
Sumber: Kompas.ID