Kekalahan Hanya Awal dari Segalanya
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Di kompetisi usia dini seperti Liga Kompas Kacang Garuda U-14, kekalahan bukan akhir, justru awal dari segalanya. Semua bukan tentang menang dan kalah, melainkan bagaimana para pemain bisa merespons hasil buruk untuk bangkit dan menjadi sosok lebih baik. Peran pelatih dan orangtua sangat krusial.
Kebangkitan moral diperlihatkan skuad BMIFA di Dewantara Sports Center, Tangerang Selatan, Minggu (10/12/2023). Dua kali kekalahan di awal kompetisi tidak membuat tim asuhan Pelatih Bambang Suprapto itu terpuruk. Mereka justru bermain solid dan berani dengan mendominasi laga versus Bintang Ragunan.
Bonus dari konsistensi BMIFA sepanjang laga adalah kemenangan perdana, 3-1. ”Kemarin sedih karena kalah beruntun. Namun, kami sudah berjanji untuk tampil lepas. Kata pelatih, kami hanya perlu fokus pada diri sendiri, tidak perlu memikirkan hasilnya nanti,” kata gelandang sekaligus kapten tim Ahmad Raditya Akmal.
BMIFA langsung tancap gas sejak sepak mula. Mereka tidak takut bermain dengan kombinasi umpan dari lini pertahanan. Hasilnya, mereka sudah unggul tiga gol pada menit ke-21 lewat sumbangan dari duo penyerang sayap Ibrahim Movic Afriansyah dan Sultan Restu Alamsyah, serta gelandang Muhammad Abdul Haadii.
Bambang mengatakan, ia lebih bangga dengan permainan anak asuhnya ketimbang hasil akhir. ”Saya ingin mereka menang, tetapi bukan dengan asal-asalan main. Tujuan kami bermain filosofi Filanesia. Semua itu demi perkembangan pemain. Jangan sampai hanya menang, tetapi mereka tidak menjadi pemain yang lebih baik,” papar sang pelatih.
Karena itu, Bambang terus meyakinkan anak asuhnya sebelum laga. Dia menekankan para pemain untuk fokus ke performa individu. Hanya perlu bermain sesuai rencana dan lebih baik dari pekan lalu. Tidak perlu jauh-jauh memikirkan tim keseluruhan. Jika itu bisa dilakukan, menurut sang pelatih, kemenangan akan datang dengan sendirinya.
Menurut anggota Ikatan Psikologi Olaharga, Prabowo Bayu Waskito, kesehatan mental pemain usia muda sangat vital terhadap perkembangan ke jenjang selanjutnya. Jika tidak diajarkan untuk merespons kekalahan dengan benar sejak dini, mentalitas mereka bisa sangat rapuh di kemudian hari. Atlet profesional pasti akan melewati kekalahan berkali-kali.
”Saat kalah, para pemain muda perlu diberikan ruang. Jangan diberikan tekanan dan ekspektasi berlebihan. Terutama di kompetisi seperti ini, mereka seharusnya diberikan ruang untuk tetap bersenang-senang agar pertumbuhan itu natural. Tentu tidak mudah karena ada pihak yang melihat kompetisi sebagai panggung unjuk gigi,” ujar Ito, nama panggilan Waskito.
Ito menambahkan, kemungkinan hanya ada 10 dari 400 pemain usia muda yang akan bertahan di sepak bola. Sisanya mungkin berkegiatan di bidang lain. ”Itu yang membuat pelajaran menerima kekalahan dan soal kesehatan mental ini penting. Bukan hanya untuk menjadikan mereka pemain lebih baik, melainkan juga manusia yang lebih baik,” ujarnya menambahkan.
Peran pelatih dan orangtua pun sangat krusial karena mereka yang berhubungan langsung dengan para pemain. Seperti dikatakan Pelatih Maesa Arif Crishdiantoro, kedua pihak tersebut harus mengerjakan tugasnya masing-masing. Mereka hanya perlu mendukung para pemain semaksimal mungkin, bukan menuntut.
Hal tersebut yang diperlihatkan Arif saat memimpin Maesa di pekan ketiga. Mereka kembali menelan kekalahan untuk ketiga kali beruntun setelah takluk dari Siaga Pratama, 1-2. Namun, sang pelatih sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan seusai laga. Dia justru merangkul anak asuhnya untuk memberikan evaluasi.
Hasil Maesa terbilang cukup baik dibandingkan pekan lalu saat kalah dari Putra Agung dengan enam gol tanpa balas. Adapun lawan Siaga Pratama, Maesa sempat unggul lebih dulu pada menit ke-5 lewat gol penyerang Wildan Sanjaya. Mereka gagal mempertahankan keunggulan di paruh kedua karena sudah kelelahan.
”Kami (sebagai pelatih) harus sangat berhati-hati saat kalah. Itu tidak mudah untuk pemain. Di laga sebelumnya, mereka sampai menangis. Kami harus menjaga mereka agar tidak trauma karena pengalaman ini. Kalau itu terjadi, justru jadi tidak baik karena tujuan kompetisi ini, kan, pembinaan agar mereka berkembang,” ucap Arif.
Di sisi lain, orangtua tidak sepatutnya memberikan ekspektasi lebih. Mereka pasti ingin anaknya bisa menjadi pemain profesional. Namun, semuanya harus bertahap. Kemenangan di kompetisi seperti ini sama sekali tidak menjamin para pemain akan jadi hebat pada masa depan. Tekanan itu justru bisa membuat perkembangan antiklimaks.
Menurut Arif, ekspektasi orangtua juga menjadi tekanan tersendiri untuk pelatih. Itu bisa mengubah pendekatan pelatih. ”Karena itu, saya sudah berbicara dengan para orangtua sebelum kompetisi. Tujuan utamanya agar anak mereka bisa mengembangkan diri, bukan juara. Jadi, jangan mengharapkan kemenangan,” tuturnya.
Alhasil, kekalahan, tidak bisa dimungkiri, merupakan titik awal dari pembinaan pemain muda. Semua pemain pasti bisa merayakan kemenangan, tetapi belum tentu mampu mengatasi kekalahan. Persoalan itu diharapkan bisa teratasi di Liga Kompas, dengan kesadaran pelatih dan orangtua, serta bantuan Ikatan Psikologi Olahraga.